Selasa, 21 Juni 2011

kekuasaan adalah sarana menegakkan agama Allah

Allahuakbar.....ikhwah sekalian, umat sepakat bahwa misi rasul adh menegakan dakwah agar manusia beribadah kepada Allah sebagaimana tujuan dr penciptaan manusia itu sendiri, dan misi ini WAIJB dilanjutkn oleh generasi2 muslim selanjutnya hingga akhir zaman.


 namun dalam penegakan dakwah tauhid ini, rasul membutuhkn fasilitas2 dunia agar dakwah ini senantiasa terjaga kemulianya, mk tak heran jk rasul menggunakn fasilitas PEDANG sbg ALAT penjaga dakwah tauhid, padahal jelas bhw rasul tdk diperintahkn sbg pembawa misi perang atau panglima perang. dan bukan pedang saja yg digunakn sbg alat penjaga dakwah tauhid, namun rasul jg menggukan alat kekuasaan yg dipegangnya (Sedang menurut Ibnu Tyaimiyah posisi Nabi saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (al-Kitab) bukan sebagai penguasa. 


Kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama. ini analoginya, membuat tiang bendera bukan tujuan, namun tiang hanya sbg alat untuk menegakn dan mengibarkn bendera, bendera adh tujuan.


 ikhwah sekalian, jangan pernah menafikan adanya kekuasaan, coba antum lihat sejarah baik dr sejarah islam, yunani kuno, cina kuno, mesir kuno, nabi ibrahim, nabi musa, nabi isa, nabi sulaiman, nabi daud dsb, kekuasaan itu sangat penting. kita fokus pada sejarah nabi muhammad, rasul seringkali mengirim utusan2 ke berbagai raja2 sekitar jazirah arab agar mereka memeluk islam, dari sejarah ini sdh nampak jelas bahwa rasul menggunakan kapasitasnya sbg penguasa (rasul bukan sekedar sbg pembawa misi dakwah tauhid).


 itulah mengapa rasul mengirim surat ajakan bertauhid dimulai kepada para penguasa2/raja, karena memang HARUS diakui bahwa kekuasan adalah fenomena yg benar ada dan memiliki posisi yg SANGAT PENTING DALAM SEJARAH PERADABAN MANUSIA. 


ikhwah sekalian , kapasitas utama Muhammad sbg rasul (pembawa misi dakwah tauhid) tdk berarti menafikan dan membatasi karakter Nabi pada satu atribut saja (sebagai nabi/pemimpim spiritual saja). Tentu saja, Nabi sebagai seorang manusia mempunyai kapasitas-kapasitas dan tugas-tugas lain. Oleh karena itu, penekanan pada satu isu dalam suatu konteks yang spesifik, tidak menihilkan tugas-tugas atau karakteritik lain. Ambil saja contoh dari ayat-ayat suci berikut: (QS. Al-Anfal:65 nabi sebagai panglima perang, al-Maidah:49 nabi sebagai hakim).

untuk dakwah ana rasa tidak tepat dianalogikan dgn membangun gedung/rumah yg hrs diawali dr pondasi dulu, toh rasul jg berdakwah tdk hrs dr pondasi dulu (lihat kembali sejarah rasul mengirim utusan ke raja2), tp jika dakwah ada sekelompok pejuang islam yg caranya seperti itu ya silahkan. padahal tdk selalu yg namanya analogi terpakai pada segala kondisi, sbg contoh analogi yg paling populer, jika ada anak yg jadi pencuri karena bapaknya juga pencuri atau jika ada anak yg jadi musisi karena bapaknya jg musisi dianalogikan "buah jatuh memang tdk jauh dr pohonNya" tp ternyata ada jg bapaknya ustad anaknya ahli maksiat. HATi-HATI DALAM BERANALOGI, SESUAIKAN DENGAN KONDIDSI OBJEKNYA.



satu hal lagi jamaah ikhwanul muslimin tdk ada yg haus kekuasaan, namun kekuasaan hanya untuk memudahkan dakwah, lagi pula hasilnya sdh kelihatan, contohnya di kota depok kehidupaan masyarakatnya secara ekonomi dan religinya lebih baik. 


menurut ana dakwah yg djalankani tanpa lewat demokrasi akan memperlambat kemenangan. semakin cpt kemenangan maka semakin sedikit korban dr ketidakadilan, namn jk semakin lambat kemenangan mk korban dr ketidak adilan akan semakin banyak, padahal islam menyuruh umatnya agar berusaha bertindak cepat namun hati2 untuk menyelamtkn manusia lain dr ketidakadilan. 


afwan ana dulu org yg anti demokrasi (ana dulu ikut HTI) namun ana selalu berusaha mendengarkn pendapat dr kelompok2 lain secara berimbang termasuk dr kelompok ikhwanul muslimin.


 awalnya memang sulit untuk merubah keyakinan/prinsip yg dulu kita pegang, namun ana berpikir ana tdk mau menjadi seperti org2 kafir ketika diberi penjelasan kebenaran, namun mereka berat untuk menerima, padahal hati mereka sebenarnya meyakinnya.


sifat ini (sulit menerima hal yg baru) memang wajar dan sdh menjadi fitroh manusia, krn pada hakikatnya manusia tdk nyaman dgn hal2 yg asing dan jika manusia mengubah apa2 yg sdh ada pada diri mereka,itu sama halnya memasukan diri mereka sendiri pada keterasingan, termasuk ketika kita merubah prinsip mk prinsip yg baru itu akan terasa asing bagi kita, namun ins.Allah segala hal yg baru pada diri kita tdk akan selamanya terasa asing.


 afwan ana bicara seperti ini bukan berarti ana org yg paling benar, ana jg msh belajar, terima kasih mudah-mudahn diskusi ini bs membawa kebaikan buat ana, antum dan umat islam. mohon maaf barangkali ada omongan yg g enak. wallahu'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar